Yogyakarta, 10 Desember 2025—Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta kembali menunjukkan kepeduliannya terhadap pengembangan seni inklusif melalui kegiatan dokumentasi penelitian di Sanggar Sripanglaras, Kulon Progo. Tim peneliti ISI Yogyakarta berkesempatan bertemu langsung dengan para pengajar serta penyandang disabilitas yang aktif berlatih tari Angguk, sebuah pengalaman yang membuka ruang refleksi mendalam tentang makna seni sebagai medium kemanusiaan.
Dalam kunjungan tersebut, tim menyaksikan dinamika latihan yang tidak biasa: pemusik tuna netra yang mengiringi penari tuna rungu. Situasi yang umumnya membutuhkan ketepatan visual dan musikal justru diolah menjadi bentuk komunikasi inderawi yang lebih halus dan intuitif. Para penari mengandalkan kepekaan terhadap getaran dan ritme, sementara para pemusik memainkan ketukan dengan penuh empati. Kolaborasi ini menghasilkan harmoni yang lahir dari pemahaman bersama, bukan sekadar teknik.


Proses kreatif tersebut menjadi bukti bahwa keterbatasan bukan penghalang untuk berkarya, melainkan fondasi bagi lahirnya inovasi artistik. Sanggar Sripanglaras menampilkan bagaimana seni dapat menjembatani perbedaan, menghadirkan ruang belajar yang inklusif sekaligus memperkuat nilai-nilai kemanusiaan. Bagi tim peneliti ISI Yogyakarta, pengalaman ini sekaligus menjadi titik balik dalam memaknai praktik seni inklusif di masyarakat.
“Melihat mereka berkarya dengan penuh semangat adalah pelajaran berharga. Kalian adalah inspirasi dari banyak orang, teruslah berkarya dan bersinar,” ungkap salah satu peneliti seusai sesi dokumentasi.
Melalui kegiatan ini, ISI Yogyakarta menegaskan komitmennya untuk terus mendorong riset seni yang berorientasi pada pemberdayaan masyarakat, terutama kelompok difabel. Lembaga juga menyampaikan apresiasi kepada LPPM ISI Yogyakarta, Sanggar Sripanglaras, dan Jurusan Etnomusikologi atas kerja sama yang memungkinkan terwujudnya penelitian ini.
Hasil dokumentasi diharapkan dapat menjadi referensi bagi pengembangan praktik seni inklusif di lingkungan akademik maupun komunitas seni, sekaligus memperkuat reputasi ISI Yogyakarta sebagai institusi yang mendorong keberagaman, sensitivitas sosial, dan inovasi budaya.








