National Geographic Indonesia bersama Prodi S1 Tata Kelola Seni Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta menggelar Bincang Redaksi #60 bertema “Kemekelen: Mati Ketawa ala Jogja”. Obrolan yang dihelat pada 8 Juni 2024 via zoom ini mengupas riwayat komedi yang pernah hidup di Yogyakarta. Selain itu juga membahas kisah di balik upaya merawatnya sebagai jati diri kota Yogyakarta sampai kini.
Diskusi ini menghadirkan 3 narasumber, yakni Trisna Pradita Putra (Peneliti Komedi yang juga Staf Pengajar di Program Studi S1 Tata Kelola Seni), Budi Irawanto (Ketua Program Studi Doktor Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana, UGM), dan Trisno Trisusilowati (mantan Dosen Fakultas Seni Pertunjukan, Jurusan Teater, Institut Seni Indonesia di Yogyakarta, MC dan Komedian). Diskusi ini dimoderasi oleh Mahandis Yoanata Thamrin (Managing Editor National Geographic Indonesia).
Trisna mengatakan bahwa komedi merupakan bagian kesenian rakyat Yogyakarta sejak lama. Terbukti pada abad ke-9 telah tertuang bukti adanya tukang banyol di Kraton. Sampai munculnya Dagelan Mataram yang dipelopori oleh Basiyo dalam berbagai format radio tahun 1959-1979. Hari ini kita begitu mudah menjumpai rupa-rupa komedi, dari kelakar kelompok lawak nasional sampai lawakan tunggal. Ini membuktikan bahwa hadirnya budaya tradisi lokal dalam dunia komedi menjadikan kajian ini menarik untuk dibahas.
Selain sejarah, perubahan sosial dan teknologi membuktikan bahwa komedian di seputaran Yogyakarta tidak sekadar piawai melucu, tetapi juga terampil dalam manajemen. Jika tidak, tentu komedian-komedian itu sudah roboh berkalang tanah. Pertanyaannya akankah lawakan ala Yogyakarta akan terus relevan sebagai hiburan sekaligus menjaga marwah kota?
Budi Irawanto sebagai salah satu peneliti budaya juga mengungkap bahwa komedi memiliki berbagai fungsi, klasifikasi dan juga terformat dalam berbagai media. Komedi yang diungkap oleh Warkop DKI dalam film “Chips” contohnya adalah hasil eksplorasi antara komedi dan kritik sosial ada Dono Kasino Indro. Belum lagi “goro-goro” yang ada dalam lakon wayang kulit yang menjadi sarana dan media interpretasi dalang sebagai komedian.
Trisno Trisusilowati atau akrab Bu Susi mengisahkan pengalamannya bahwa profesi komedi bukan sekadar sarana mengekspresikan diri, tetapi juga dapat turut mendukung ekonomi keluarga. Selain fungsi, Susi juga mengungkap bahwa seorang komedian juga harus memiliki ide berlimpah agar penonton bisa tertawa. “Ini tugas berat komedian, agar secepat mungkin membuat mereka tertawa,” ungkap Susi.
Diskusi ini diakhiri usulan Trisna terkait upaya keberlanjutan budaya komedi di Yogyakarta atau Indonesia. Diantaranya adanya event pementasan yang rutin oleh berbagai lembaga atau patron, menyiapkan atau mendukung adanya sanggar komedi, dan menyiapkan pengelola seni terampil terkait berbagai agenda komedi, baik secara formal maupun non-formal. Karena itu kehadiran program studi Tata Kelola Seni menjadi salah satu cara agar dunia komedi berlanjut makin eksis dan bermakna. “Karenanya, komedi itu memang serius, luar dalam,” ungkap Mohandis dari NatGeo Indonesia.
Suasana Bincang Redaksi
Suasana Bincang Redaksi