Tanggal 9 Desember 2021, pukul 10.30, suasana di Bangsal Kepatihan Kantor Gubernur DIY, “ ger-geran” heboh, para tamu undangan sekitar 50 orang duduk berjarak, bermasker, namun terdengar tawa mereka, juga tak luput Gusti Kanjeng Bendara Raden Ayu Adipati Paku Alam X, beliau terlihat sangat menikmati sajian tarian yang lincah, lucu, atraktif, akrobatik , menarik dan amat memukau. Tarian usai, dan para penari yang berjumlah tujuh orang segera ditahan agar tidak turun dari Bangsal dulu, karena GKBRay Adipati Paku Alam X, “ ngersakke” berfoto dengan para penari yang berpeluh. Para panitiapun nggak mau kalah mengajak berfoto para penari, dan akhirnya para tamu undanganpun yang masih duduk di kursi bergegas “tersetrum” turut naik ke bangsal dan meminta berfoto bersama pernari. Nah pada saat semua berada di bangsal, terdengar aneka pertanyaan dari para panitia dan juga tamu undangan “ kok bisa to tadi, narinya lincah sekali?ibu usianya berapa? Waahh saya jongkok saja kesulitan, resepnya apa ibu –ibu penari kok bisa melakukan gerak kayang? Ini para penari rata –rata usianya berapa? Siapa tadi yang meroda? Siapa yang koprol, ini ibu yang split tadi ya? Para penari Dingklik Sinden, menjawab dengan sabar atas serangan bertubi-tubi pertanyaan antusias para tamu dan panitia HUT Darma Wanita siang itu.
Kami bertujuh hanya bisa mengucap syukur, bahwa “ Komunitas “ Tari Dingklik Sinden ini masih “dibutuhkan” masyarakat hingga tahun 2021 ini. “Komunitas “ ini lahir berawal dari Tahun 2014, sekitar bulan Februari ketika seorang mahasiswa Jurusan Tari FSP ISI Yogyakarta, bernama Rusnanda , dia baru saja di tahun sebelumnya memenangkan lomba Tari antar mahasiswa di posisi Juara III, karya tarinay berjudul Dingklik Sinden. Nanda ( demikian dia biasanya dipanggil)”menantang “ kepada ibu dosennya Daruni (Uni Yutta), “ ibu apakah para dosen berani menarikan tarian saya? “ , waktu itu Uni Yutta sedikit ragu dan berpikir sejenak lalu menjawab “ apakah mungkin koreografinya sedikit disesuaikan?”, Nanda segera mengiyakan, secepat kilat Uni Yutta menuju ke ruang dosen Jurusan Tari dan berkata dengan suara keras “ halo ibu-ibu apakah ada yang bersedia menarikan tari Dingklik Sinden karya Nanda?, beberapa dosen yang ada di ruangan itu kemudian bereaksi mengacungkan jari sambil melontarkan kesediannya bergabung, terkumpullah nama, Setyastuti, M. Heni Winahyuningsih, Jiyu Wijayanti, MG. Sugiyarti, B. Sri Hanjati, Supriyanti, Erlina Pantja S, dan tentu saja Uni Yutta, delapan dosen sanggup nah plus Nanda maka lengkap sudah Sembilan penari siap menari Dingklik Sinden.
Ide cemerlang waktu itu tarian ini akan dipentaskan /didaftarkan menjadi salah satu pengisi acara di 24 Jam Menari / Hari Tari Dunia, Wold Dance Day yang diselenggarakan oelh ISI Surakarta. Para penari berlatih dengan serius dilatih oleh mahasiswanay sendiri yaitu sang penata tari Nanda. Pada tanggal 29 April 2014, tibalah saat pentas , DS mendapat giliran pentas pukul 22.00 bertempat di pendapa ISI Surakarta. Ribuan Penonton berteriak histeris, “pating jlerit”, gemuruh heboh melihat ibu-ibu bergelung berkebaya berkain , berpenampilan sangat Jawa, di awal sangat manis ternyata “ ambyar”, “ pating penthalit”, dari awal hingga akhir tarian penonton berdecak, bertepuk tangan meriah. Dari situlah bermula kemudian, tarian ini diminati masyarakat, suatu kehormatan “didhawuhi “ menari di acara Jogja Semesta hingga tiga kali, menghibur ulang tahun Bp. Hermawan Kertajaya di Royal Ambarukmo, diundang Kemenparekraf di gedung Sapta Pesona Jakarta, Dies Natalis ISI Yogyakarta, acara Sepatu Menari Spektakuler HMJ Tari FSP ISI Yogyakarta, HUT Dharma Wanita, Peringatan Hari Ibu Dharma Wanita Prov DIY( dua tahun berturut-turut) Reuni Jurusan Tari FSP ISI Yogyakarta, Malam Penobatan Dimas Diajeng DIY, sebuah acara di Grha Saba, sebuah acara di Dispar Sleman di Pendapa Rumah Dinas Bupati Sleman, pernah juga menghibur ,di acara rapat lembaga di Hotel Melia, juga membuka acara Rakornas, Raker yang dilaksanakan oleh Pemda DIY atas “Dhawuh” Sultan HB X, di Grand Inna Garuda, Hotel Tentrem, juga reuni sebuah SMA Surabaya, yang salah satu pesertanya adalah mantan Wapres bapak Try Sutrisno, juga diundang di AU Meguwo, pernah juga acara gathering Kemenparekraf di Prambanan , yang terjauh adalah diundang ke Lombok oleh Taman Budaya Lombok dan Festival Senggigi. Itu beberapa yang diingat.
Ada sebuah kisah yang mendebarkan, beberapa menit sebelum pementasan saat di Lombok acara Festival Pantai Senggigi, panitia mendatangi hotel tempat kami menginap dan berkata “ maaf ibu-ibu, acara ini akan dihadiri Tuan Guru /bapak Bupati, bagaimana kalu pentasnya nanti koreografinya diganti ? tdak pakai kayang, meroda, backrol dll? Betapa terkejutnya kami, daya tarik ciri khas, keunikan dari tarian kami adalah, kami para penari perempuan lanjut usia menarikan tarian pethakilan, penthalitan, bergerak tak biasa, dan itulah daya tariknya. Kami semua terdiam, bengong , beberapa menit kemudian, ada telpon dari panitia, intinya kami boleh menarikan sesuai dengan konsep koreografinya. Peristiwa itu tetap mempengaruhi psikis kami sebelum naik panggung, kami semua berdoa mohon belas kasih Tuhan , ibadah menari menghibur sesama ditetrima masyarakat Lombok. Syukur kepada Tuhan kami sukses menari mendapat sambutan positif. Seusai kami menari , giliran Bapak Bupati memberi sambutan “ ibu-ibu penari hebat di usianya bisa menampilkan tarian yang memikat , enerjik, lincah, bayangkan waktu mereka berusia 25 tahun , tepuk tangan sekali lagi untuk ibu ibu dari ISI Yogyakarta. “
Tentang jumlah penari dan penari pengganti, di awal terbentuknya kita bersembilan, dan di beberapa kali pementasan kami menari berdelapan, dan yang paling sering adalah bertujuh. Keunikan kami adalah delapan atau tujuh atau 6 penari ibu ibu berusia lebh dari 50 tahun, dan satu orang penari cros sgender . beberapa penonton tidak mengetahui bahwa Nanda adalah penari silang gender, “porsi” Nanda dalam koreografi ini menjadi daya tarik tersendiri, apalagi saat dia bersuara laki-laki di sesi akhir, “pecah” penonton, karena situasi kontras, perempuan cantik penampilannya ternyata bersuara laki-laki. Beberapa penari yang pernah menjadi pengganti saat Nanda tidak bisa yaitu, Raffi, dan Janihari Persada, beberapa kali pementasan ada salah satu ibu ibu penari DS yang tidak bisa pentas ( termasuk sewaktu Uni Yutta tugas SAME BIPA Seni Kemenristekdi Osaka selama 3 bulan, tidak ikt pentas di Kota Lama Semarang dan pentas di Lanud AU Adisucipto), kemudian diganti pemain additional Galih Suci Manganti ( Penari Anggota Pragina Gong), Silvia Dewi, Chairunnisa dan Arjuni. Kami merasaka bahwa mencari penari DS itu tidak mudah, karena tariannya khusus maka juga diperlukan kemampuan kecerdasan tubuh, penjiwaan, penghayatan dan ekspresi khusus, tarian DS juga tidak diajarkan di sanggar manapun, tidak seperti kalau kita mau menampilkan tari Golek, Tari Gambyong, dan tarian “umum” yang diajarkan di sanggar-sanggar, lebih “ mudah “ mencari. Para penari additional itu dicari yang dulu pernah menarikan saat pentas dalam forum lomba.
Secara koreografis tarian ini boleh dikatakan tarian komikal, sebuah tarian yang disajikan secara kelompok lebih dari lima orang , berbusana sama, bercerita tentang kehidupan Sinden dengan segala suka dukanya , persaingan antara sinden masa kini dna sinden jadul.semua diekspresikan dan dibalut dalam nuansa ceria, lucu, dinamis, menarik dan akrobatik. Di beberapa pementasan orang sering dibuat bingung oleh penampilan kita sebelum menari, busana kami “standard “ tidak terlalu “manggung”, mereka baru mengerti bahwa kami adalah ibu ibu yang akan menari kalau kalau kami sudah “action” di atas panggung. Bersyukur di usia “lansia” masih didijinkan melakukan ibdahah menghibur dna mengisnpirasi ibu ibu yang lain agar tetap bergerak, untuk kesehatan jiwa dan raga , kita sebaiknya bergerak, berkarya, berdaya dan berbudaya.
Tulisan ini telah dimuat di harian Minggu Pagi No 37 TH 74 Minggu III Desember 2021
(dok.Daruni)